Spiritual Capital : Memberdayakan SQ di dunia bisnis
Judul Buku : Spiritual Capital : Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis
Penulis : Danah Zohar dan Ian Marshall
Penerjemah : Helmi Mustofa
Penerbit : Mizan-Bandung, Agustus 2005
Tebal : 254 Hal
Judul Asli : Wealth We Can Live By Using Our Rational, Emotional, And Spiritual Intelligence To Transform Ourselves And Corporate Culture
Pada saat kondisi perusahaan mengalami pertumbuhan, perusahaan enggan melakukan perubahan, tetapi lebih cenderung menikmati pertumbuhan, karena kesuksesan dan kepuasan cenderung dipandang sebagi kondisi yang memuncak, dan perubahan membutuhkan kepercayaan dari pasar. Oleh karena itu perubahan harus dilakukan secara perlahan-lahan, supaya sesuai dengan kemampuan. Dalam melakukan perubahan, juga diperlukan keseimbangan antara nilai-nilai yang diubah dan nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan harus dilakukan.
Intelligent quotient (IQ) relatif stabil sepanjang hidup manusia, mampu menghasilkan modal materiil, emotional quotient (EQ) bisa dipelihara dan dikembangkan, mampu menghasilkan modal sosial. Padahal, keduanya tertuju pada sikap materialistis dan antroposentris. Manusia sering lupa menyatukan pikiran, emosi, dan hati nurani, sehingga mengalami kepribadian terpecah (split personality), maka dibutuhkan spiritual quotient (SQ) sebagai bekal untuk menyatukan IQ dan EQ. SQ akan mengakses makna yang dalam, nilai-nilai fundamental, dan kesadaran akan adanya tujuan yang abadi dalam hidup (modal spiritual). Ketiga modal dan kecerdasan tersebut bila dikombinasikan akan menjadi sinergi, yang mampu menghasilkan keuntungan disertai idealisme yang luhur.
Kesadaran akan makna, nilai, dan serta tujuan yang ada pada SQ menyuburkan Spiritual Capital ( SC ). SQ bisa membentuk dan meruntuhkan paradigma dan membongkar pola pemikiran dan perilaku yang sudah mapan. SQ menyusun pola pengaturan dirinya, kecerdasan ini muncul dalam sebuah dialog yang kreatif antara pikiran dan lingkungan. Sehingga SQ mampu mengubah dan membentuk paradigma dengan prinsip-prinsip transformatif yang akan mendasari setiap upaya untuk mengubah motivasi-motivasi dan perilaku manusia. Prinsip transformatif itu adalah: kesadaran diri, spontanitas, terbimbing oleh visi dan nilai, holisme, kepedulian, keragaman, independensi terhadap lingkungan, bertanya “mengapa”, kemampuan membingkai ulang, pemanfaatan positif atas kemalangan, rendah hati dan rasa keterpanggilan. Prinsip transformatif diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat diketahui makna, nilai dan tujuan.
Skala motivasi Danah Zohar dan Ian Marshall dikembangkan dari piramida kebutuhan Abraham Malsow, tetapi dengan memperluas enam motivasi asli dari Maslow menjadi enam belas, yakni delapan positif dan delapan negatif. Motivasi-motivasi ini disusun dalam suatu hierarki dari -8 ke +8 dan mempunyai sifat yang unik yang membuat deret negatif dan deret positif yang saling mencerminkan. Delapan motivasi positif dan negatif adalah kondisi yang kita alami, sangat mungkin untuk menggeser motivasi, baik ke atas maupun ke bawah. Tetapi dalam buku ini menekankan adanya pergeseran ke atas. Motivasi-motivasi antara +4 dan -4, yang merupakan motif-motif paling umum dikembangkan. Di luar batas-batas ini lebih merupakan ranah orang genius dan orang suci di satu sisi dan gangguan psikosis atau gangguan mental di sisi lain. Dalam skala ini, lebih ditekankan pergeseran internal karena memahami tujuan dan nilai-nilai yang mendasarinya dan jauh lebih lama bertahan.
Setiap motivasi adalah sebuah paradigma yang utuh yang meliputi asumsi, nilai, aspirasi strategi, hubungan-hubungan, emosi dan perilaku. Ada empat motivasi negatif yang menggerakkan kapitalisme dan bisnis saat ini. Motivasi-motivasi inilah yang membentuk budaya tempat jutaan orang bekerja. Motivasi itu adalah penonjolan diri atau kompetitivitas, kemarahan, keserakahan dan ketakutan. Budaya tersebut sangat kompetitif dan bahkan kerap bercorak “saling memangsa” dan orang-orang yang mampu bersaing yang mengeruk sebagian besar keuntungan. Kemarahan muncul karena orang-orang merasakan ketidakadilan dan keterwakilan, kekecewaan karena merasa hanya menjadi bagian dalam suatu permainan besar. Keserakahan adalah kekuatan penggerak yang utama dari bisnis besar saat ini. Ketakutan muncul dari ketakutan membuat kesalahan, ketakutan dicaci maki dan ketakutan dipecat. Abraham Maslow menggambarkan keempat motivasi itu sebagai deficiency needs, yang pada hakikatnya tidak membawa kita pada manusia-utuh. Mengubah motivasi negatif menjadi motivasi positif berupa rasa takut (-4), keserakahan (-3), penonjolan diri (-1), menuju motivasi-motivasi yang lebih positif, yakni; eksplorasi (+1), kerjasama (+2), kekuatan dari dalam (+3), dan penguasaan (-4), adalah cara andal untuk mengubah perilaku.
Manusia adalah mahkluk yang memiliki makna, nilai dan tujuan hidup ( yakni ; mahkluk “aktualisasi diri”) kita membutuhkan kesadaran akan makna dan tujuan yang menggerakkan hidup kita. Spiritual Capital (SC) menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi, dan manusia yang pandai mengelola emosinya (EQ) dalam berhubungan dengan sesamanya, tidaklah mengantar manusia pada makna, nilai dan tujuan hidup manusia. Hidup yang berguna adalah hidup yang terus memberi makna dan nilai pada diri sendiri dan orang lain.. Abraham Maslow mengatakan dengan “kebutuhan yang lebih tinggi”, ia menyebutkan penghargaan-diri (self-esteem), aktualisasi diri ( self actualization ), dan pengalaman puncak ( peak experience ), perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang pencipta sehingga perasaan hidupnya sempurna. Tetapi Danah Zohar dan Ian Marshall justru menempatkan kebutuhan ini sebagai dasar pemenuhan kebutuhan, dan ini disadari oleh Abraham Maslow, sebelum meninggal bahwa piramida kebutuhannya terbalik.
Spiritual Capital mensyaratkan agar kita mengubah secara mendasar pola pikir kita mengenai dasar filosofis dan praktek bisnis. SC tidak antikapitalis atau bahkan non kapitalis, tetapi SC menyarankan penambahan dimensi moral dan sosial pada kapitalisme, dengan kata lain SC merupakan produk kapitalisme baru ( neo kapitalis ). SC sendiri bukanlah kekayaan materi, tetapi konsep yang mengacu pada kemungkinan mendapatkan keuntungan, bahkan keuntungan yang lebih besar, dengan menjalankan bisnis dalam konteks makna yang lebih luas. SC dapat mengambil keuntungan yang diperoleh dari ditambahkannya kekayaan jiwa dan kesejahteraan umat manusia. .
Kemunculan buku ini sangat tepat, dimana saat krisis multidimensi melanda, yang memunculkan keserakahan, egoistis, oportunistis, berpikir jangka pendek, gerakan hati untuk bersama-sama memelihara kasih sayang (love) dan kepedulian (Compassion) sulit untuk dipergunakan lagi. Akibatnya, manusia tidak mempunyai empati dan tidak segan untuk berbuat korupsi, bertindak anarkis, dan menjadi oportunis dengan menyengsarakan rakyat. Kesadaran diri berdasarkan hati nurani (Conscience) yang universal menjadi tidak terasah bahkan tumpul. Meski bisnis global yang memiliki uang dan kekuasaan untuk menciptakan perubahan, buku ini menawarkan visi bisnis yang tidak sekedar menaruh perhatian pada perkara uang belaka, tetapi lebih mengangkat visi yang bertanggungjawab atas lokasi perusahaan dimana mereka mendapatkan keuntungan dan mencitrakan bisnis sebagai panggilan hidup, serta mampu membentuk pemimpin pelayanan (servant leaders).
Judul Buku : Spiritual Capital : Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis
Penulis : Danah Zohar dan Ian Marshall
Penerjemah : Helmi Mustofa
Penerbit : Mizan-Bandung, Agustus 2005
Tebal : 254 Hal
Judul Asli : Wealth We Can Live By Using Our Rational, Emotional, And Spiritual Intelligence To Transform Ourselves And Corporate Culture
Pada saat kondisi perusahaan mengalami pertumbuhan, perusahaan enggan melakukan perubahan, tetapi lebih cenderung menikmati pertumbuhan, karena kesuksesan dan kepuasan cenderung dipandang sebagi kondisi yang memuncak, dan perubahan membutuhkan kepercayaan dari pasar. Oleh karena itu perubahan harus dilakukan secara perlahan-lahan, supaya sesuai dengan kemampuan. Dalam melakukan perubahan, juga diperlukan keseimbangan antara nilai-nilai yang diubah dan nilai-nilai yang perlu dipertahankan dan harus dilakukan.
Intelligent quotient (IQ) relatif stabil sepanjang hidup manusia, mampu menghasilkan modal materiil, emotional quotient (EQ) bisa dipelihara dan dikembangkan, mampu menghasilkan modal sosial. Padahal, keduanya tertuju pada sikap materialistis dan antroposentris. Manusia sering lupa menyatukan pikiran, emosi, dan hati nurani, sehingga mengalami kepribadian terpecah (split personality), maka dibutuhkan spiritual quotient (SQ) sebagai bekal untuk menyatukan IQ dan EQ. SQ akan mengakses makna yang dalam, nilai-nilai fundamental, dan kesadaran akan adanya tujuan yang abadi dalam hidup (modal spiritual). Ketiga modal dan kecerdasan tersebut bila dikombinasikan akan menjadi sinergi, yang mampu menghasilkan keuntungan disertai idealisme yang luhur.
Kesadaran akan makna, nilai, dan serta tujuan yang ada pada SQ menyuburkan Spiritual Capital ( SC ). SQ bisa membentuk dan meruntuhkan paradigma dan membongkar pola pemikiran dan perilaku yang sudah mapan. SQ menyusun pola pengaturan dirinya, kecerdasan ini muncul dalam sebuah dialog yang kreatif antara pikiran dan lingkungan. Sehingga SQ mampu mengubah dan membentuk paradigma dengan prinsip-prinsip transformatif yang akan mendasari setiap upaya untuk mengubah motivasi-motivasi dan perilaku manusia. Prinsip transformatif itu adalah: kesadaran diri, spontanitas, terbimbing oleh visi dan nilai, holisme, kepedulian, keragaman, independensi terhadap lingkungan, bertanya “mengapa”, kemampuan membingkai ulang, pemanfaatan positif atas kemalangan, rendah hati dan rasa keterpanggilan. Prinsip transformatif diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat diketahui makna, nilai dan tujuan.
Skala motivasi Danah Zohar dan Ian Marshall dikembangkan dari piramida kebutuhan Abraham Malsow, tetapi dengan memperluas enam motivasi asli dari Maslow menjadi enam belas, yakni delapan positif dan delapan negatif. Motivasi-motivasi ini disusun dalam suatu hierarki dari -8 ke +8 dan mempunyai sifat yang unik yang membuat deret negatif dan deret positif yang saling mencerminkan. Delapan motivasi positif dan negatif adalah kondisi yang kita alami, sangat mungkin untuk menggeser motivasi, baik ke atas maupun ke bawah. Tetapi dalam buku ini menekankan adanya pergeseran ke atas. Motivasi-motivasi antara +4 dan -4, yang merupakan motif-motif paling umum dikembangkan. Di luar batas-batas ini lebih merupakan ranah orang genius dan orang suci di satu sisi dan gangguan psikosis atau gangguan mental di sisi lain. Dalam skala ini, lebih ditekankan pergeseran internal karena memahami tujuan dan nilai-nilai yang mendasarinya dan jauh lebih lama bertahan.
Setiap motivasi adalah sebuah paradigma yang utuh yang meliputi asumsi, nilai, aspirasi strategi, hubungan-hubungan, emosi dan perilaku. Ada empat motivasi negatif yang menggerakkan kapitalisme dan bisnis saat ini. Motivasi-motivasi inilah yang membentuk budaya tempat jutaan orang bekerja. Motivasi itu adalah penonjolan diri atau kompetitivitas, kemarahan, keserakahan dan ketakutan. Budaya tersebut sangat kompetitif dan bahkan kerap bercorak “saling memangsa” dan orang-orang yang mampu bersaing yang mengeruk sebagian besar keuntungan. Kemarahan muncul karena orang-orang merasakan ketidakadilan dan keterwakilan, kekecewaan karena merasa hanya menjadi bagian dalam suatu permainan besar. Keserakahan adalah kekuatan penggerak yang utama dari bisnis besar saat ini. Ketakutan muncul dari ketakutan membuat kesalahan, ketakutan dicaci maki dan ketakutan dipecat. Abraham Maslow menggambarkan keempat motivasi itu sebagai deficiency needs, yang pada hakikatnya tidak membawa kita pada manusia-utuh. Mengubah motivasi negatif menjadi motivasi positif berupa rasa takut (-4), keserakahan (-3), penonjolan diri (-1), menuju motivasi-motivasi yang lebih positif, yakni; eksplorasi (+1), kerjasama (+2), kekuatan dari dalam (+3), dan penguasaan (-4), adalah cara andal untuk mengubah perilaku.
Manusia adalah mahkluk yang memiliki makna, nilai dan tujuan hidup ( yakni ; mahkluk “aktualisasi diri”) kita membutuhkan kesadaran akan makna dan tujuan yang menggerakkan hidup kita. Spiritual Capital (SC) menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi, dan manusia yang pandai mengelola emosinya (EQ) dalam berhubungan dengan sesamanya, tidaklah mengantar manusia pada makna, nilai dan tujuan hidup manusia. Hidup yang berguna adalah hidup yang terus memberi makna dan nilai pada diri sendiri dan orang lain.. Abraham Maslow mengatakan dengan “kebutuhan yang lebih tinggi”, ia menyebutkan penghargaan-diri (self-esteem), aktualisasi diri ( self actualization ), dan pengalaman puncak ( peak experience ), perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang pencipta sehingga perasaan hidupnya sempurna. Tetapi Danah Zohar dan Ian Marshall justru menempatkan kebutuhan ini sebagai dasar pemenuhan kebutuhan, dan ini disadari oleh Abraham Maslow, sebelum meninggal bahwa piramida kebutuhannya terbalik.
Spiritual Capital mensyaratkan agar kita mengubah secara mendasar pola pikir kita mengenai dasar filosofis dan praktek bisnis. SC tidak antikapitalis atau bahkan non kapitalis, tetapi SC menyarankan penambahan dimensi moral dan sosial pada kapitalisme, dengan kata lain SC merupakan produk kapitalisme baru ( neo kapitalis ). SC sendiri bukanlah kekayaan materi, tetapi konsep yang mengacu pada kemungkinan mendapatkan keuntungan, bahkan keuntungan yang lebih besar, dengan menjalankan bisnis dalam konteks makna yang lebih luas. SC dapat mengambil keuntungan yang diperoleh dari ditambahkannya kekayaan jiwa dan kesejahteraan umat manusia. .
Kemunculan buku ini sangat tepat, dimana saat krisis multidimensi melanda, yang memunculkan keserakahan, egoistis, oportunistis, berpikir jangka pendek, gerakan hati untuk bersama-sama memelihara kasih sayang (love) dan kepedulian (Compassion) sulit untuk dipergunakan lagi. Akibatnya, manusia tidak mempunyai empati dan tidak segan untuk berbuat korupsi, bertindak anarkis, dan menjadi oportunis dengan menyengsarakan rakyat. Kesadaran diri berdasarkan hati nurani (Conscience) yang universal menjadi tidak terasah bahkan tumpul. Meski bisnis global yang memiliki uang dan kekuasaan untuk menciptakan perubahan, buku ini menawarkan visi bisnis yang tidak sekedar menaruh perhatian pada perkara uang belaka, tetapi lebih mengangkat visi yang bertanggungjawab atas lokasi perusahaan dimana mereka mendapatkan keuntungan dan mencitrakan bisnis sebagai panggilan hidup, serta mampu membentuk pemimpin pelayanan (servant leaders).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar